Peluang dan Tantangan Transformasi Keuangan Digital di Indonesia

Semua bermula dari dua kata ini, yaitu revolusi digital. Akibat dari revolusi digital dalam satu dekade terakhir membawa perubahan perilaku secara drastis terhadap transaksi agen ekonomi. Kebiasaan masyarakat pun bergeser ke sistem belanja daring dan menuntut dukungan metode pembayaran digital yang memadai (serba mobile, cepat, dan aman). Akhirnya banyak pelaku di sektor keuangan berinovasi menciptakan layanan keuangan yang terintegrasi dan membentuk ekosistem eksklusif agar masyarakat dapat menikmati kemudahan layanan dari hulu ke hilir. Tapi, apakah sistem keuangan digital memiliki peluang di Indonesia? Lalu, adakah tantangan yang bisa jadi hambatan? Berikut Investree punya jawabannya, simak, yuk!

Peluang Keuangan Digital di Indonesia

Segmen konsumen paling prospektif

Indonesia punya populasi penduduk terbanyak keempat di dunia yang didominasi oleh generasi milenial (Y) dan generasi Z. Mereka sangat terbuka dengan arus digitalisasi yang membuat penetrasinya pun berjalan dengan lebih cepat. Terbukti dari harga smartphone yang semakin murah dan ketersediaan internet berkecepatan tinggi pun semakin meluas. Penduduk dari kedua generasi tersebut terus berupaya memahami literasi keuangan digital yang membuat mereka semakin melek terhadap akses permodalan maupun investasi. Investor muda kian bertambah dan mereka yang memiliki usaha juga bisa berkembang karena akses modal yang semakin mudah diperoleh. Selain itu, tren dompet digital atau metode pembayaran online lainnya juga kian digemari. Tren tersebut diperkirakan terus menguat di tahun-tahun mendatang pada negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. 

Besarnya peluang penetrasi pasar

Meski penduduk dari generasi Y dan Z sudah memahami literasi keuangan digital, masih banyak penduduk yang belum tersentuh perbankan (unbanked). Baru ada 49% dari total populasi penduduk di atas 15 tahun yang memiliki rekening bank. Akses pembiayaan ke 62,9 juta UMKM di Indonesia juga masih terbatas. Ini kemudian membuat peluang penetrasi pasar keuangan digital di Indonesia masih terbuka lebar. Terbukti, bisnis platform online yang menyediakan layanan keuangan digital seperti fintech dan e-commerce kian berkembang di Indonesia. Data per September 2019, setidaknya ada 272 fintech dan 200 e-commerce, yang 5 diantaranya berstatus unicorn. Pengguna fintech dan juga e-commerce dituntut harus memiliki rekening dan memahami literasi keuangan. Itu mengapa, ini menjadi peluang yang menjanjikan bagi layanan keuangan digital. Diproyeksikan pada tahun 2025, transaksi keuangan digital di Indonesia bisa mencapai US$100 miliar atau tertinggi di ASEAN.

Tantangan Keuangan Digital di Indonesia

Risiko serangan siber

Transaksi digital yang sepenuhnya memanfaatkan internet memiliki risiko akan serangan siber. Sejak tahun 2006-2018, jumlah serangan siber global dilaporkan meningkat secara signifikan mencapai 2.500%. Kerugian yang ditaksir pun mencapai US$11,7 triliun di 2017. Infrastruktur sistem pembayaran yang dioperasikan Bank Indonesia juga memiliki risiko tersebut. Ketergantungan terhadap IT (Information Technology) juga memberi gangguan infrastruktur dasar, seperti saat terputusnya listrik dan jaringan internet. 

Selain itu, layanan keuangan digital dimana data menjadi aset utama memunculkan risiko penyalahgunaan data pribadi oleh pihak ketiga (pengelola data). Kebocoran dan jual beli data individu menjadi isu pokok yang dapat meruntuhkan kepercayaan konsumen. Sebagai contoh, ada 2.577 insiden penyalahgunaan data pribadi yang dilaporkan ke ICO (badan perlindungan data privasi) di Inggris pada tahun 2018.

Serbuan barang impor dan tindak pencucian uang

Dunia digital membuat kita dengan mudahnya terkoneksi secara global. Itu mengapa, akses masuk dan keluar negeri jadi semakin mudah. Masyarakat disediakan berbagai pilihan produk yang tidak hanya datang dari dalam negeri, namun juga luar negeri. Sebut saja, banyak platform e-commerce menjual produk-produk impor yang dikirim langsung dari luar negeri. Semudah itu kita memperoleh produk impor, membuat produk lokal jadi terancam. Berbagai kampanye “bangga produk lokal” pun terus digaungkan untuk meminimalisasi risiko tersebut. 

Tak hanya itu, layanan keuangan digital memicu munculnya fintech ilegal di Indonesia yang kebanyakan adalah perusahaan asal luar negeri. Perusahaan tersebut sengaja mencari pangsa pasarnya di sini. Padahal kita sebagai konsumen tidak tahu pasti, sumber uang mereka berasal dari usaha yang legal atau tidak. Bisa saja layanan fintech hanya dijadikan sebagai media untuk mereka melakukan tindak pencucian uang. Karena itu, sebaiknya Anda memilih fintech legal yang sudah terdaftar dan diawasi OJK, serta memiliki sumber pendanaan yang jelas, misal bersumber dari kerja sama dengan lembaga perbankan.   

Berbagai peluang dan tantangan dalam mengembangkan sistem keuangan digital pasti ada. Tinggal gimana cara kita bisa memaksimalkan peluang dan manfaatnya, serta meminimalkan tantangan dan risikonya. Agar tujuan inklusi keuangan dapat segera terwujud dan layanan keuangan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk mereka yang unbanked. Juga agar terbentuk ekosistem keuangan digital yang solid, yang memudahkan dan membantu perekonomian Indonesia.

Referensi:

Bank Indonesia. Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Bi.go.id: https://bit.ly/33rtVvk