[KONTAN, 16/08] Dapat Tempat di Konsumen, Fintech Tunggu Beleid Otoritas

JAKARTA Globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mengubah perilaku dan kebutuhan manusia. Dalam layanan jasa keuangan, tren ini juga sudah meluas. Salah satunya karena menawarkan kemudahan, efektivitas, dan efisiensi bagi industri keuangan.

Pemanfaatan teknologi pada jasa keuangan atau biasa disebut financial technology (fintech) bisa diterapkan dalam pelbagai layanan jasa keuangan, seperti peer-to-peer lending (P2P), asuransi, dan sistem pembayaran. Potensinya begitu besar lantaran fintech mampu memberikan layanan keuangan secara inovatif dan dapat menyasar segmen lebih luas.

Kelebihan fintech adalah revolusi peningkatan efisiensi biaya operasi. Sebab, perpindahan ke platform digital berbasis aplikasi otomatis juga mengurangi biaya yang dikeluarkan pada saat awal belanja modal. Selain itu juga mengurangi biaya infrastruktur lainnya, yang selama ini menjadi beban tetap investasi. Tak kalah penting, layanan ini bisa menekan biaya operasional bisnis secara efisien.

Adrian Gunadi, Co-Founder dan Chairman Investree, perkembangan fintech di Indonesia mendapat respon positif. "Buktinya, semakin banyak layanan fintech yang bermunculan di Tanah Air dan diterima dengan baik oleh lembaga keuangan, " katanya.

Salah satu contohnya adalah langkah Bank Sinarmas yang menggandeng Modalku untuk menyalurkan pembiayaan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Belum lama ini, Modalku mendapat fasilitas pinjaman Rp 10 miliar dalam waktu enam bulan. Sejak awal tahun, Modalku juga sudah menyalurkan pembiayaan Rp 10 miliar pada UMKM.

Freenyan Liwang, Presiden Direktur PT Bank Sinarmas menilai, fintech mampu mengisi kekosongan segmen pasar perbankan, khususnya UMKM. Sebab, fintech bisa menjangkau daerah lebih luas, sehingga menekan ongkos bank untuk membuka kantor cabang. "Fintech juga mampu merangkul nasabah yang belum bankable," tuturnya.

Namun, menurut Adrian, ada berbagai kendala dan tantangan dalam pengembangan fintech di Indonesia. Pertama, edukasi soal fintech yang masih minim. "Beberapa kalangan masih awam, bahkan di kalangan pelaku industri keuangan sendiri juga masih terbatas pemahamannya akan fintech," ungkapnya.

Kedua, soal regulasi dan supervisi fintech di Indonesia. "Kami berharap ada aturan perantara, sehingga ada rambu-rambu yang tidak melewati kebijakan Pemerintah," terang Adrian. Kendala terakhir adalah soal keterbatasan sumber daya manusia (SDM). "Industri ini butuh SDM yang kompeten supaya lebih cepat berkembang," cetusnya.

Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun peraturan terkait bisnis fintech. "Kami sedang kebut konsepnya. Di tahun ini, diharapkan bisa keluar peraturan, minimal yang sederhana dulu," terang Dumoly Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).

Dumoly menjelaskan, OJK akan mengatur enam hal terkait fintech. Pertama, registrasi khusus Fintech pendukung. Kedua, perizinan untuk fintech yang menjual jasa dan produk keuangan. Ketiga, terkait permodalan. Keempat, standar teknologi. Kelima, perlindungan konsumen. Dan keenam, tentang pengawasan terhadap bisnis fintech.

Menurut Dumoly, saat ini penerapan aplikasi fintech di Indonesia per transaksi. Misalnya, untuk pembiayaan, asuransi, pasar modal, atau perbankan saja. "Belum one click untuk semua jasa dan produk keuangan," katanya. Ke depan, fintech ini akan makin terintegrasi untuk semua produk dan jasa keuangan, sistem pembayaran, e-banking, kartu kredit.

Alhasil, prospek masa depan fintech diprediksi akan makin hebat. "OJK, Pemerintah, dan BI sangat mendorong untuk memperkuat akses masyarakat ke pelayanan keuangan," pungkas Dumoly.

Elisabeth Adventa, Jane Aprilyani, Marshall Siahaan