Berkaca dari Kasus Lending Club: Mengenal Risiko Peer-to-Peer Lending

Sudahkah Anda mendengar berita besar yang datang dari Lending Club, online marketplace kredit terbesar di dunia, seminggu lalu? Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan Lending Club, CEO dan Founder dari Lending Club, Renaud Laplanche, telah mengundurkan diri akibat hasil investigasi yang membuktikan bahwa Renaud telah memasarkan pinjaman tak memenuhi syarat (unqualified loans) kepada investor, di dalam perusahaan yang didirikannya sendiri itu.

Disadur dari Bloomberg, salah satu faktor terbesar yang menyebabkan kasus ini terjadi adalah tindakan fraud yang dilakukan Renaud di dalam perusahaan yang didapuk menjadi salah satu perusahaan peer-to-peer terkuat di dunia ini.

Menghadapi tekanan kompetisi dan pertumbuhan yang dianggap terlalu cepat, strategi yang dilakukan Renaud adalah mengumpulkan pinjaman-pinjaman di Lending Club untuk dijual dalam bentuk sekuritisasi, dengan tujuan untuk mendapatkan investor yang lebih banyak. Berhasil menjual sekuritisasi ini kepada beberapa perusahaan investasi ternama seperti Goldman Sachs Group, Inc. dan Jefferies LLC, Renaud melakukan tindakan pemalsuan informasi agar bundled-loan ini terlihat menarik dan disesuaikan dengan kriteria dari perusahaan-perusahaan tersebut.  Peristiwa ini menjadi semakin menarik pada saat Lending Club melakukan pembelian kembali (buyback) terhadap bundled-loan, sebelum dijual kembali ke perusahaan investasi baru dimana Renaud adalah salah satu pemegang saham dari perusahaan ini, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Manajemen dan Komite Lending Club.

Apa yang dapat kita simpulkan dari peristiwa ini?

  1. Greed.  Keserakahan menyebabkan Renaud mengambil tindakan-tindakan pemalsuan data dan ketidaktransparansian dalam pengambilan keputusan. Semua dilakukan hanya untuk memenuhi target bisnis semata. Konsep peer-to-peer dalam konteks yang sesungguhnya telah dilanggar untuk memenuhi kebutuhan investasi terhadap jumlah pinjaman yang terus meningkat.
  2. Kontrol.  Kasus ini membuktikan bahwa tidak ada kontrol yang memadai dari sistem Lending Club dalam melakukan perubahan data.  Atau jika memang kontrol itu ada, tidak ada langkah preventif yang nyata untuk menghentikan tindakan yang melanggar prosedur atau norma-norma kepatuhan.
  3. Konflik kepentingan.  Adanya campur tangan dari Renaud sendiri terhadap kepentingan perusahaan investasi yang ia miliki, serta demi menopang tekanan pertumbuhan dan kompetisi yang luar biasa mendera.

Kasus ini bisa menjadi awal dari ‘seri’ isu untuk Lending Club dan industri financial-technology yang sejenis, khususnya peer-to-peer lending, dimana keseluruhan model bisnisnya didasarkan pada akses terhadap modal. Pada akhirnya, semua ini hanya permasalahan waktu: para pemain peer-to-peer lending tinggal menunggu hingga industrinya diregulasi lebih ketat dan—yang terburuk—kehilangan reputasi sebagai pelengkap layanan perbankan konvensional yang berkualitas.

Sekilas tentang peer-to-peer lending
Lending Club secara langsung menghubungkan borrower dengan orang yang bersedia memberikan pinjaman melalui platform elektronik. Perusahaan tersebut mempromosikan dirinya dengan menggaungkan tagline “mengubah sistem perbankan menjadi online marketplace yang bebas gesekan, transparan, dan efisien, membantu banyak orang meraih tujuan finansialnya setiap hari”. Sama seperti di Investree, para peminjam bisa mendapatkan akses cepat dan bunga kompetitif, sementara pemberi pinjaman memperoleh return yang lebih tinggi dibandingkan di bank atau institusi finansial lainnya.

Bersamaan dengan mencuatnya kasus ini, semakin banyak orang yang bertanya tentang integritas data dan model bisnis dari seluruh pinjaman yang difasilitasi oleh perusahaan peer-to-peer lending. Bagaimana jika hal ini ternyata belum cukup aman? Investor, yang kami sebut sebagai Lender, bisa menjadi segan untuk memberikan pinjaman melalui penyedia jasa peer-to-peer lending

Sebelum beranjak lebih lanjut, kita bisa membaca permasalahan ini dari beberapa sudut pandang tentang risiko, di antaranya:

  • Permasalahan trust: Munculnya kasus ini tentu mempengaruhi kepercayaan publik terhadap peer-to-peer lending. Amankah? Efektifkah? Efisienkah? Jika sebuah perusahaan tidak mampu menjaga pertumbuhan dan kepercayaan konsumen, tentu eksistensinya patut dicemaskan.
  • Permasalahan regulasi: Tak dapat dipungkiri jika industri ini seringkali dikatakan too good to be true—tidak serumit bank dan menawarkan return yang atraktif. Namun lagi-lagi, orang mulai mempertanyakan sejauh mana peer-to-peer lending di Indonesia bisa ‘bergerak’ mengingat industri ini belum diatur secara resmi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pertanyaannya akan sama dengan yang pertama: amankah? Efektifkah? Efisienkah?

Lantas, dapatkah kita percaya pada peer-to-peer lending?
Sangat bisa. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa satu hal yang harus menjadi fokus setiap pemain peer-to-peer lending adalah transparansi. Salah satunya kami. Mengusung tagline “nurturing growth, rewarding return”, Investree senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, inovasi, dan profesionalisme dengan mengutamakan transparansi di setiap pemasaran produk dan layanan.

Bukti komitmen kami dapat Anda lihat dari segala informasi yang selalu diperlihatkan sejak Anda menginjakkan kaki di laman utama investree.id. Di homepage, kami memperlihatkan bentuk marketplace Investree dengan mencantumkan jenis-jenis pinjaman yang sedang berada dalam masa penawaran, lengkap dengan deskripsi peminjam, status, dan loan grade-nya. Begitu pula ketika Anda telah terdaftar sebagai Lender, beragam informasi tersebut dapat Anda lihat secara lebih lengkap dan terperinci lewat laman Fact Sheet. Fungsinya adalah sebagai bahan pertimbangan dan penilaian Lender sebelum memutuskan untuk melakukan pendanaan terhadap sebuah pinjaman.

Selain itu, kami juga menjamin hanya pendanaan berkualitas yang akan ditawarkan di marketplace Investree. Setiap aplikasi pinjaman yang diajukan oleh peminjam akan melewati analisis, seleksi, dan persetujuan berdasarkan sistem credit-scoring yang modern. Tak hanya berdasarkan algoritma secara digital, Tim Analis Investree juga akan menganalisis kualitas peminjam beserta pinjamannya secara psikologis, salah satunya melalui media sosial. Nantinya, proses tersebut akan menghasilkan loan grade sebagai bukti peringkat peminjam tersebut—semakin rendah loan grade-nya, semakin tinggi risikonya, begitu pula sebaliknya.

Kepada peminjam, kami akan memberitahukan kebutuhan pembiayaan sejak awal, sehingga dapat dipastikan bahwa tidak akan ada beban biaya lain yang diminta di akhir periode pinjaman. Biaya-biaya tersebut meliputi biaya bunga, platform, keterlambatan, dan asuransi. Sedangkan bagi pemberi pinjaman, kami menginformasikan berbagai risiko investasi yang mungkin saja terjadi selama proses pendanaan, seperti risiko gagal bayar, fraud, resesi atau krisis ekonomi, dan kepailitan. Kami pun menyarankan para Lender untuk melakukan diversifikasi portofolio.

Apabila di dalam proses pendanaan, suatu pinjaman tidak berhasil untuk didanai sampai penuh, maka peminjam akan diberitahukan secara transparan bahwa pinjamannya tidak dapat dibiayai. Proses inilah yang menjadi kunci bahwa suatu pinjaman tidak dapat dibiayai atau dibungkus dengan skema-skema sekuritisasi yang berisiko.

Jadi, tidak ada yang perlu dicemaskan dari mendanai atau mengajukan pinjaman melalui skema peer-to-peer lending, utamanya di Investree. Ketahui dan pelajari lebih lanjut tentang perusahaan yang akan dituju, kontrol pendanaan dan pinjaman secara bijak, dan sebarkan berita positif tentang user experience Anda agar produk dan layanan peer-to-peer lending dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat luas.